
SERAMBINEWS.COM – Hanya tinggal mengkalkulasikan hari, umat muslim yang memiliki kesanggupan akan secepatnya menunaikan ibadah kurban.
Seperti diketahui, ibadah kurban didedikasikan bagi yang mampu, tetapi belum memperoleh peluang untuk melaksanakan haji.
Atau bagi mereka yang sudah melaksanakan haji, maka disarankan pula untuk tetap melaksanakan kurban setiap tahunnya.
Sejatinya, semua ibadah yang disebutkan dalam aturan syariat didedikasikan bagi mereka yang masih hidup.
Sementara bagi yang sudah meninggal dunia, dalam persepsi Islam, seluruh amalannya sudah terputus.
Namun dalam praktiknya, ada beberapa orang yang menjalankan beberapa ibadah, tetapi didedikasikan bagi mereka yang sudah meninggal tersebut.
Salah satunya menyerupai ibadah kurban.
Pihak keluarga yang memiliki kesanggupan lebih ada yang menambahkan nama anggota keluarganya yang sudah meninggal dalam kurbannya.
Misalnya saja kurban untuk orang bau tanah yang sudah meninggal dunia.
Namun bagi yang memiliki kesanggupan pas-pasan, mungkin hal ini akan sedikit sulit.
Di satu sisi, kesanggupan yang dimiliki cuma cukup untuk melaksanakan kurban bagi diri sendiri atau beberapa orang saja.
Sementara itu, disisi lain, selaku seorang anak tentunya kita ingin melaksanakan kurban bagi orang bau tanah yang sudah meninggal.
Lalu dalam keadaan menyerupai ini, manakah yang mesti didahulukan, berkurban untuk orang yang masih hidup atau yang sudah meninggal?
Soal ini, pendakwah sekaligus pengasuh Lembaga Pengembangan Da’wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah, Buya Yahya sudah menampilkan jawabannya.
Berikut klarifikasi lengkap Buya Yahya yang sudah dirangkum Serambinews.com.
Mana lebih utama kurban untuk orang hidup atau yang sudah meninggal?
Soal ini, pendakwah sekaligus pengasuh Lembaga Pengembangan Da’wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah, Buya Yahya sudah menampilkan jawabannya.
Dalam suatu video penjelasannya yang diunggah di Instagram @buyayahya_albahjah, Buya Yahya mengatakan, lebih diutamakan untuk orang yang masih hidup.
Kecuali jikalau orang yang ingin berkurban tersebut punya kelebihan.
Berikut tayangan video klarifikasi Buya Yahya.
“Misalnya keluarganya tujuh, sudah ada satu sapi, nambah dua kambing untuk mbah dan neneknya yang sudah meninggal,” terang Buya Yahya.
Soal kurban bagi orang yang sudah meninggal, kata Buya Yahya, memang ada ikhtilaf di dalamnya.
Menurut mazhab syafi’i boleh kurban atas orang yang sudah meninggal jikalau diwasiatkan.
“Jika orang yang sudah meninggal itu berwasiat, maka kita kurbankan. Kalau ada masih yang hidup, dahulukan yang hidup,” ujar Buya Yahya.
Sebab, tambahnya, aturan sunnah berkurban dikukuhkan bagi orang yang masih hidup.
Sementara bagi orang yang sudah meninggal dunia tidak sudah simpulan segala urusannya di dunia.
Tidak ada perumpamaan orang bau tanah saya meninggal sebelum berkurban, makanya dibilang kalau memang ia berwasiat, maka berkurban.
Kalau tidak juga menyampaikan tidak ada kurban bagi orang yang sudah meninggal.
Hukum kurban untuk orang yang sudah meninggal
Soal aturan berkurban untuk orang yang sudah meninggal ini bergotong-royong sudah pernah dibahas oleh pendakwah nasional Ustadz Abdul Somad atau UAS, baik secara tertulis di laman blog UAS maupun dalam ceramahnya yang diunggah di susukan YouTube Bujang Hijrah.
Seperti ditulis UAS di halamannya somadmorocco.blogspot.com, ada ikhtilaf ulama mengenai aturan menyembelih kurban untuk orang yang sudah meninggal dunia.
Menurut mazhab Syafi’i, dalam goresan pena UAS, dilarang berkurban untuk orang lain tanpa seizinnya.
Begitu juga bagi orang yang sudah meninggal dunia, dilarang berkurban untuknya jikalau mereka tidak meninggalkan wasiat untuk menjalankan ibadah tersebut.
Sebaliknya, jikalau mereka sudah menampilkan wasiat sebelum meninggal dunia, maka boleh menyembelih kurban untuknya.
“Dengan wasiatnya itu maka pahala kurban tersebut menjadi miliknya dan seluruh daging kurban tersebut mesti diserahkan terhadap fakir miskin,”
“Orang yang menyembelihnya dan orang yang dapat dilarang memakannya alasannya yakni orang yang sudah meninggal tersebut tidak memberi izin untuk itu,” tulis UAS menyerupai dikutip dalam suatu artikelnya di laman somadmorocco.blogspot.com.
Sementara itu, dalam mazhab Maliki, lanjut UAS, makruh hukumnya berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia jikalau ia tidak menyebutkannya sebelum ia pergi menghadap sang Ilahi.
Tapi jikalau orang tersebut sempat menyatakannya dan bukan nazar, maka disarankan bagi piawai waris untuk melaksanakan kurban untuknya.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi dan Hanbali, boleh menyembelih kurban untuk orang yang sudah meninggal dunia.
“Sama menyerupai kurban untuk orang yang masih hidup, dagingnya disedekahkan dan boleh dikonsumsi oleh orang yang melaksanakan kurban. Sedangkan pahalanya untuk orang yang sudah meninggal dunia,” terang UAS dalam tulisannya.
Akan tetapi, tambah UAS, menurut mazhab Hanafi, haram hukumnya bagi pelaksana kurban menyantap daging kurban yang ia kerjakan untuk orang yang sudah meninggal menurut perintah dari orang tersebut.
Pahala kurban untuk orang yang sudah meninggal
Mengenai bagaimana pahala kurban untuk orang yang sudah meninggal, diterangkan UAS dalam suatu video kajiannya yang diunggah oleh YouTube Bujang Hijrah.
Penjelasan UAS terkait kurban untuk orang yang sudah meninggal berawal dari suatu pertanyaan yang dilempar dari salah seorang jamah.
“Bagaimana aturan kurban atas nama orang yang sudah meninggal? Bukankah orang yang mati itu tak bisa beribadah?,” tanya seorang jamaah pada UAS secara tertulis.
Berikut tayangan video klarifikasi UAS.
UAS mengatakan, bahwa orang yang sudah meninggal memang tak lagi bisa melaksanakan ibadah.
Namun ibadah orang yang masih hidup yang ditujukan pada mereka yang sudah meninggal dunia tetap akan sampai.
“Jika tak hingga ibadahnya tak ada shalat jenazah,” terang UAS.
“Jadi tak ada tu, ibadah orang hidup untuk yang mati putus,” tambahnya.
Sedangkan, lanjutnya, sedekah yang diberikan oleh mereka yang hidup atas nama orang yang sudah meninggal saja tetap sampai.
UAS pun menampilkan dalil yang berhubungan dengan soal tersebut.
“Mana dalilnya? ‘Ya Rasulullah, ibuku sudah mati. Kalu saya berinfak hingga tak sedekah ini untuk ibuku?’. Kata Nabi sampai,” papar UAS.
“Apa sedekah yang paling afdhal? kasih air minum,” sambungnya. (Serambinews.com/Yeni Hardika)
BERITA TERKAIT
INFO SEPUTAR IDUL ADHA 1443 H
BACA BERITA LAINNYA DI SINI