
SERAMBINEWS.COM – Kebanyakan orang akan memutuskan tinggal di kompleks perumahan atau di perkampungan yang ramai.
Karena sejatinya, insan merupakan makhluk sosial yang butuh interaksi dengan orang lain.
Namun berlawanan dengan keluarga di Yogyakarta ini.
Mereka lebih memutuskan bertahan di kampung mati.
Meski tak memiliki tetangga, satu keluarga nekat tetap tinggal di kampung mati yang berada di tengah hutan.
Dulunya, kampung tersebut dihuni banyak warga, tetapi kini cuma menyisihkan satu keluarga saja.
Keluarga tersebut yaitu Sumiran bareng istri Sugiati dan putrinya berjulukan Septi, mereka tetap bertahan tinggal di sana.
Lokasi kampung mati ini berada di Desa Sidomulyo, Kecamatan Kulon Progo, Daerah spesial Yogyakarta.
Diwilayah tersebut ada suatu kampung yang diberinama Kampung Suci yang lokasinya ditengah- tengah hutan.
Kampung Suci kini seumpama kampung mati karena ditinggalkan penghuninya sejak bertahun-tahun lalu.

Hanya keluarga Sumiran yang tetap bertahan menghuni rumahnya meski jauh dari warga yang lain.
“Dulu ada tujuh rumah, kini pada pindah semua,” kata Sumiran dikutip TribunnewsBogor.com dari Youtube Jejak Bang Ibra, Senin (29/5/2023).
Untuk menuju Kampung Suci, bukanlah hal yang mudah.
Sebab, kanal menuju Kampung Suci ini terbilang sukar melalui jalan setapak tanah, kerikil dan pepohonan.
Tak cuma itu, aksesnya juga tak datar seumpama di perkotan, tetapi jalan setapak menuju Kampung Suci itu aksesnya menurun dan juga menanjak.
“Saya sudah 24 tahun tinggal di sini ( Kampung Suci),” kata Sumiran melanjutkan ceritanya.

Ayah satu orang anak ini bercerita, sepinya kampung suci ini karena warganya memutuskan pindah ke perkampungan yang lebih ramai.
Salah satu penyebabnya karena kanal jalan yang menyibukkan dijangkau.
“Sudah 4 tahunan warga meninggalkan Kampung Suci. Tinggal saya yang bertahan di sini,” tutur Sumiran.
Dikawasan Kampung Suci ini ternyata bukan cuma rumah Sumiran yang masih bangkit kokoh.
Namun, ada rumah warga yang lain yang jaraknya pun tidak mengecewakan jauh dari rumah Sumiran.
Meski begitu, rumah tersebut pun sudah tak berpenghuni alasannya pemiliknya sudah pindah rumah.
“Ada satu lagi rumahnya kosong, untuk rumah yang yang lain sudah tidak ada. alasannya sudah dijual oleh pemiliknya,” kata Sumiran.
Rumah yang dihuni Sumiran dan keluarganya terbilang sungguh sederhana.
Bagian dindingnya yang dibikin dari kayu dan lantainya masih tanah, rumah tersebut terlihat cukup luas.
Di sekelilingnya terlihat pepohonan dan kebun bekas rumah warga yang ditinggalkan.

Sekolah Jalan kaki 3 Kilometer
Septi, anak Sumiran dan Sugiati tetap bersekolah meski mesti menempuh perjalanan yang cukup jauh.
Sebab, ia mesti menembus hutan dan melintasi jalan setapak dan berbukit untuk datang di sekolahnya.
Siswi SD di Yogyakarta ini mesti menempuh perjalan lebih dari satu kilometer setiap harinya untuk dapat bersekolah.
Meski mesti berlangsung kaki dengan keadaan jalanan yang mengerikan, Septi tetap semangat pergi ke sekolah.
“Kalau hujan juga tetap berangkat (sekolah),” kata Ayah Septi, Sumiran dilansir TribunnewsBogor.com dari Youtube Jejak Bang Ibra, Senin (29/5/2023).
Jarak yang ditempuh Septi dari rumah ke sekolah kemudian kembali lagi ke tempat tinggal sekitar 3 kilometer.
Itu artinya, siswa kelas 3 SD itu mesti jalan kaki sepanjang 3 km saban hari demi dapat bersekolah.
Orangtua Septi, Sumiran dan istrinya, Sumiati tinggal di suatu desa terpencil di tengah hutan.
Bukan cuma jaraknya yang jauh dari mana-mana, keluarga Septi juga cuma tinggal seorang diri di kampung tersebut.
Para warga di Kampung Suji itu seluruhnya sudah pergi meninggalkan tempat tinggal mereka.
Di kampung mati yang sudah ditinggalkan para warganya itulah Septi dan orangtuanya tinggal.
Septi biasa dikirim jemput ke sekolah oleh ibu atau ayahnya pada pagi hari.
Meski mesti jalan jauh, Septi pun tetap semangat dan ceria.
“Kalau sama ibu jalan kaki, kalau sama bapak kadang digendong. Karena kan (bapak) tangannya besar,” kata Septi.
Ayah Septi sehari-harinya melakukan pekerjaan di hutan tersebut dengan mencari kayu.
Ia juga menghasilkan beberapa furniture dari kayu yang ia ambil dari hutan.
Tinggal di rumah yang berada di tengah- tengah hutan menghasilkan Septi bersahabat dengan lingkuhan sekitarnya.
Ia pun sering menghabiskan waktu untuk bermain di sungai yang berada di tengah perjalanan menuju ke rumahnya.
“Jembatannya sudah mau rusak, saya takut, tetapi ya saya pilih hati-hati saja,” kata Septi dengan riang.
Meski cuma tinggal bertiga saja dengan ayah dan ibunya, tetapi Septi mengaku nyaman.
“Tinggal di hutan seneng, saya dapat jaga hewanku. Anjing, kucing, ayam,” katanya bercerita.
Sepulang sekolah, Septi lazimnya makan kuliner ibunya.
Masakan kesukaan Septi pun sungguh sederhana, yaitu nasi dan tempe bacem.
“Karena di gunung sukar kan untuk cari lauk, jadi beliau makan sama tempe, kadang kecap,” kata Sumiati.
Meski makan dengan lauk seadanya, Septi pun tetap ceria.
Apalagi ia sesekali bercanda dengan binatang peliharaannya yang berkeliaran di dapur.
“Kalau makan sering digangguin sama ayam dan kucing,” kata Septi sambil melahap nasi dan tempe bacemnya.
(TribunNewsBogor/ Damanhuri)
Artikel ini sudah tayang di TribunNewsmaker.com dengan judul HIDUP Menyendiri di Hutan Yogyakarta, Septi & Keluarga Bertahan di Kampung Mati, Tak Punya Tetangga